Antara Emas, Hukum, dan Luka di Tanah Pasaman Barat
Oleh: Alwi
Opini, kawalbangsa.com -----
Di balik gemuruh rimba yang rindang dan bisikan sungai yang mengalir tenang, tersembunyi rahasia gelap dari perut bumi Pasaman Barat. Daerah yang seharusnya menjadi tempat harmoni antara manusia dan alam itu, kini dipenuhi luka yang menganga. Tanahnya terkoyak, sungainya tercemar, dan langitnya diselimuti debu dari mesin-mesin tambang yang bekerja tanpa lelah. Semua demi satu hal: "emas" Sang logam mulia yang sejak dahulu menjadi simbol kekayaan, namun juga pemantik petaka.
Dugaan kuat berembus: aktivitas tambang emas ilegal, telah menyelinap ke jantung Pasaman Barat. Bukan hanya sekali, bukan hanya satu tempat. Lubang-lubang tambang muncul seperti luka-luka baru di tubuh ibu pertiwi. Tidak tercatat dalam izin, tak terpantau dalam sistem negara. Liar. Memburu kekayaan dengan mengabaikan hukum, etika, dan masa depan generasi.
Dalam hukum positif Indonesia, tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif-ia adalah kejahatan,Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), secara tegas menyatakan bahwa setiap kegiatan penambangan harus memiliki izin usaha pertambangan (IUP) Pasal 158 menjadi pilar utama:
> "Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
Namun, apakah hukum cukup mampu menahan nafsu manusia? Di medan realita, hukum seringkali tergerus oleh tambang-tambang tak kasatmata tambang kekuasaan, tambang kebisuan, dan tambang kompromi.
Seharusnya, manusia adalah khalifah di bumi—pemelihara, bukan perusak. Dalam filsafat lingkungan, dikenal istilah "deep ecology", pandangan bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan memiliki hak untuk eksis tanpa dieksploitasi. Ketika manusia memperlakukan tanah hanya sebagai tambang, sungai hanya sebagai jalur buangan, dan hutan hanya sebagai rintangan, maka ia tengah menggali kubur peradabannya sendiri.
Di tanah Pasaman Barat, gemuruh alat berat telah menenggelamkan suara burung dan desir angin. Sungai yang dahulu bening mengalir, kini keruh dan beracun. Jika emas adalah berkah, maka tambang ilegal menjadikannya kutukan.
Pemerintah daerah dan pusat tidak boleh tinggal diam. Mereka punya mandat, bukan sekadar administratif, tapi moral. Penegakan hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu. Investigasi mendalam perlu dilakukan, bukan untuk mencari kambing hitam, tapi untuk menyibak tabir siapa yang bermain di balik layar. Siapa yang membuka jalan bagi alat berat itu? Siapa yang menjual solar untuk operasi? Siapa yang menutup mata demi sejumput logam mulia?
Sebagaimana kata filsuf Plato, "Keadilan adalah harmoni." Maka, ketidakadilan lingkungan adalah kehancuran harmoni. Bila dibiarkan, bukan hanya ekosistem yang runtuh—tapi juga etika masyarakat.
Kini, masyarakat Pasaman Barat berada di persimpangan sejarah: antara diam dalam ketakutan, atau bersuara demi kehidupan. Pemerintah berada dalam ujian: antara menegakkan hukum, atau terjerat dalam jaringan kepentingan.
Dan emas, sang logam yang tidak pernah berkarat, kini membawa karat pada nurani manusia.
Kita harus ingat, bahwa yang kita wariskan bukan hanya tanah, tapi nilai.Nilai untuk menjaga, bukan menguras. Nilai untuk menghormati, bukan menginjak. Pasaman Barat adalah bagian dari jiwa Indonesia. Jika ia terluka karena tambang ilegal, maka sesungguhnya,kita semua turut terluka.[]
0 Comments