Setiap Genangan Punya Derita Dr. Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd (Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)


Setiap Genangan Punya Derita
Dr. Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd

(Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) 


Opini, kawalbangsa.Com ------
Dalam kisah wahyu yang menembus rentang enam puluh abad, Tuhan pernah membisikkan kabar murka air kepada Nabi Nuh sebuah peringatan yang tak bisa ditawar. Dengan keteguhan yang tak banyak dimiliki manusia modern, Nuh membangun bahtera raksasa, bukan sebagai monumen keajaiban, tetapi sebagai ruang selamat bagi mereka yang percaya pada janji Ilahi.

 Dan benar saja, ketika air menggulung daratan, menelan lembah dan merayap hingga kaki gunung-gunung yang berdiri pongah, hanya mereka yang berlindung di dek kayu itulah yang tetap bernapas. Namun keselamatan pun kadang membawa luka yang tak tampak oleh mata. Nuh, yang menyaksikan dunia hanyut di balik hujan abadi, tetap tak mampu menahan getir saat anaknya, Kan’an, memilih tenggelam bersama keras kepalanya.

 Di titik itu, kita belajar bahwa bencana bukan hanya soal air yang menggenang atau bangunan yang luluh lantak; ia juga tentang hati manusia yang retak, tentang kehilangan yang menetap seperti bau lumpur setelah banjir surut. Sebab begitulah bencana bekerja ia menyisakan hidup, tapi merampas sebagian jiwa.

Banjir bandang di masa Nabi Nuh dan banjir yang menimpa masyarakat Sumatera hari ini memang berbeda bentuk dan ukurannya, tetapi tidak demikian dengan luka yang ditinggalkannya. Air zaman Nuh mungkin lebih ganas, lebih dalam, lebih kosmik; namun nestapa warga Sumatera justru terasa jauh lebih perih. 

Mengapa? Karena kedalaman luka bukan ditentukan oleh tinggi genangan, melainkan oleh rendahnya kepedulian manusia yang tidak ikut tenggelam di dalamnya. Nabi Nuh, setidaknya, memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh para korban hari ini. Nabi Nuh diberi kepastian. Ia diberi informasi langsung dari langit sebuah peringatan yang terang, tegas, dan tak bisa disalahartikan.

 Sementara masyarakat Sumatera hanya ditemani “bahasa alam” yang samar, gemerisik hujan, gerimis yang berubah geram, dan aliran sungai yang diam-diam menyimpan amarah. Bahasa yang tak semua orang mampu membaca, kecuali segelintir yang terpelajar dan beruntung.

Pada masa Nuh, mereka yang binasa adalah mereka yang menolak percaya. Pada masa kita, mereka yang menjadi korban adalah mereka yang tak pernah diberi kesempatan untuk tahu. Dan di masa Nuh, kapal penyelamat sudah menunggu sebelum banjir datang, tegak seperti harapan yang siap dinaiki. 

Sedangkan di Sumatera, kapal-kapal atau apa pun bentuk pertolongan itu baru benar-benar bergerak ketika seminggu duka telah menumpuk di lumpur dan di hati warga. Karena itu, saya berani mengatakan banjir di Sumatera jauh lebih memilukan. Bukan karena airnya lebih dalam, tetapi karena empatinya lebih dangkal. 

Karena, sebagaimana tertulis dalam kisah wahyu, Tuhan menunjukkan belas kasih kepada Nuh dan pengikutnya hingga bahtera mereka mendarat di tempat paling aman. Ironinya, manusia modern yang mengaku lebih berakal justru sering gagal menunjukkan belas kasih yang sama kepada sesamanya. Dan di situlah tragedi sesungguhnya.

Saya tidak tertarik mengurai sebab-musabab banjir di Sumatera, sungai telah meluap, rumah telah hanyut, dan luka telah terlanjur basah. Membongkar kronologi sekarang hanya akan membuat kita berdiri di tepi air sambil menunjuk-nunjuk, bukan menolong. Yang lebih mendesak bukanlah mencari kambing hitam, melainkan menelisik hati manusia sebab di sanalah banjir yang lebih diam-diam menggenang.

 Yang membuat saya menggigil bukan lagi derasnya arus, tetapi dinginnya ucapan sebagian orang yang selayaknya menjadi pelipur lara. Mereka yang seharusnya menabur empati justru menorehkan garam di luka yang masih terbuka. Dan lebih menyakitkan lagi ketika kata-kata itu jatuh dari bibir para pejabat. Mereka yang memanggul amanah sebagai khalifah, wakil Tuhan di bumi, penjaga kehidupan. 

Bagaimana mungkin seseorang yang diberi tugas suci untuk melindungi justru mengeluarkan kalimat yang mematahkan? Bukankah kita menyaksikan bagaimana Tuhan memeluk Nabi Nuh dan kaumnya dengan kasih yang tak putus, bahkan di tengah bencana paling dahsyat dalam sejarah manusia? 

Ironi semakin kentara ketika para pemegang kekuasaan hanya sibuk mencari alasan, bukan mencari cara untuk mengeringkan air mata warganya. Mereka berdiri di podium, tetapi hatinya entah di mana. Banjir di Sumatera seakan menjadi panggung baru untuk retorika kosong, sementara rakyat yang kehilangan rumah, keluarga, dan harapan hanya menjadi latar dramatiknya. 

Di titik inilah saya merasa barangkali bencana terbesar bukanlah air yang datang dari langit, tetapi sikap yang merosot dari manusia. Sebab air akan surut, lumpur akan mengering, tetapi ucapan yang menyakitkan akan terus tinggal di hati korban, lebih lama dari sisa-sisa banjir di halaman rumah mereka. 

Dan mungkin, jika para pejabat benar-benar mau meniru kasih Tuhan kepada Nuh, mereka tidak akan mengeraskan wajah, melainkan melembutkan hati. Mereka tidak akan menyalahkan alam, tetapi menyelamatkan manusia. Sebab tugas khalifah bukanlah menjelaskan bencana, melainkan hadir untuk menyembuhkan luka yang ditinggalkannya.

Dan pada akhirnya, sejarah selalu menyimpan dua catatan, siapa yang membantu menyalakan harapan, dan siapa yang justru meniupkan padam dengan mulut yang mestinya membawa penghiburan. Sejarah tak pernah lupa, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk membuka lembaran.

 Jika para pemimpin kita tak segera memilih menjadi yang pertama, maka kelak, ketika umat ini menulis bab tentang banjir Sumatera, mereka tak hanya akan menuturkan kisah tentang air yang menghanyutkan kehidupan, tetapi juga tentang hati yang gagal menjadi bahtera hati yang terlalu sibuk menjaga citra hingga lupa menjaga manusia. 

Dalam situasi genting seperti ini, yang dibutuhkan bukanlah pemimpin yang pandai merangkai kalimat, tetapi pemimpin yang mampu membaca diam yang tahu kapan harus berhenti bicara dan mulai mendengarkan tangis rakyatnya. Sebab sebuah bangsa tidak diukur dari seberapa lantang pemimpinnya bersuara, melainkan dari seberapa tulus mereka menunduk untuk mengangkat warganya yang sedang tersungkur. 

Jika Nabi Nuh pada masanya memiliki bahtera sebuah rumah keselamatan yang lahir dari kasih dan kewaspadaan maka rakyat Sumatera hari ini hanya berharap satu hal, agar bahtera itu menjelma, bukan dalam bentuk kayu atau perahu besar, tetapi dalam bentuk kepedulian yang nyata, tangan-tangan yang terulur sebelum diminta, dan keputusan yang berpihak sebelum terlambat. Sebab di tengah bencana, warga tidak membutuhkan metafora; mereka membutuhkan manusia yang hadir sebagai harapan. Dan ketika harapan itu datang, walau hanya setitik, ia jauh lebih berharga daripada seribu pidato yang tak punya daya mengeringkan air mata. []

Editor, Ajay

Post a Comment

Previous Post Next Post