Mengurai Sistem di Mandailing Natal
Oleh: Rizal Bakri Nasution
Artikel, kawalbangsa. Com -----
“Dana desa bukan untuk memperkuat jaringan kekuasaan, tapi untuk membangun hak-hak masyarakat. Saatnya kita sadar dan bertindak.”
Di Mandailing Natal, dugaan penyalahgunaan dana desa bukan sekadar masalah administrasi. Ini lebih seperti cermin dari budaya birokrasi yang rumit, kekuasaan lokal yang kuat, dan masyarakat yang acapkali memilih diam. Laporan sering mandek di jalan buntu, birokrasi berbelit, dan kepercayaan publik menipis. Rasanya hukum berjalan lambat, bukan untuk menegakkan keadilan, tapi menjaga sistem agar tetap aman bagi yang berkuasa.
Beberapa kepala desa memanfaatkan posisinya untuk menyalahgunakan dana desa melalui proyek fiktif, mark-up anggaran dan titipan proyek, selain praktik nepotisme dan pungutan liar (uang tanda tangan). Warga yang ingin mengurus administrasi sering dikenai biaya ada yang 10%, ada yang lebih, tergantung “kesepakatan”.
“Uang desa memang besar, tapi sebagian menjadi titipan pihak luar, yang dikenal sebagai ‘3 pilar’. Ironisnya, tidak semua desa butuh barang titipan ini.”
Banyak titipan ini mengabaikan kebutuhan nyata masyarakat. Jalan yang rusak tetap rusak, irigasi terbengkalai, sekolah dan fasilitas kesehatan tertunda. Alih-alih pembangunan, titipan proyek justru memperkuat jaringan kekuasaan lokal.
Camat, yang seharusnya menjadi pengawas sekaligus penghubung ke kabupaten, acap kali menunjukkan netralitas berlebihan. Kadang ini bukan kebijaksanaan, tapi strategi menghindari konflik. Akibatnya, laporan masyarakat bisa terseret lama di birokrasi, memperlambat penegakan akuntabilitas.
Inspektorat memang punya wewenang, tapi proses pemeriksaan sering lambat dan berbelit-belit. Tipikor Polres, meski berwenang menindak dugaan korupsi, sering terhambat bukti, saksi, dan tekanan politik lokal, membuat kasus berlarut-larut. Kejaksaan pun, yang seharusnya menjadi ujung tombak penuntutan, terkadang mandek di meja rekomendasi karena prioritas lain atau tekanan dari luar. Semua ini makin mengikis kepercayaan publik.
Fenomena “86” juga sering terjadi. Kasus yang mulai naik bisa tiba-tiba dihentikan, karena pelapor dibujuk atau diberi uang tutup mulut, kadang melalui instansi terkait. Dampaknya? Semangat masyarakat untuk mengawasi menurun drastis.
“Masyarakat pesimis, semangat mengawasi dan melapor menurun, sehingga lingkaran penyalahgunaan kekuasaan terus berulang.”
Sikap masyarakat sendiri beragam. Ada yang diam karena takut atau terbiasa, ada yang ikut arus, kadang hanya bertanya sekadar, “sudah sampai mana prosesnya?” dengan nada ambigu. Sikap setengah peduli ini justru memperkuat lingkaran penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu dicatat, tidak semua desa membutuhkan titipan proyek atau barang dari pihak luar. Yang masyarakat butuhkan adalah jalan, irigasi, sekolah, fasilitas Umum lainya, bukan barang titipan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Titipan proyek seharusnya menjadi alat pembangunan, bukan alat kekuasaan.
Mandailing Natal hari ini adalah cermin bagaimana hukum, birokrasi, kepala desa, camat, inspektorat, Tipikor, kejaksaan, dan "86" bisa berjalan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan publik.
“Perubahan nyata membutuhkan keteguhan, strategi, dokumentasi lengkap, keberanian dan solidaritas kolektif.”
Kini saatnya masyarakat melakukan refleksi. Apakah kita tetap diam dan membiarkan sistem berjalan atau mulai menuntut transparansi, mengawasi penggunaan dana publik, dan bersuara cerdas?
Hukum bisa lamban, aparat bisa netral berlebihan, masyarakat bisa apatis, dan praktik 86 bisa mematikan semangat keadilan. Tapi satu hal tetap pasti, kesadaran dan tindakan kolektif adalah senjata utama.
Mandailing Natal membutuhkan refleksi, keberanian dan aksi nyata, agar dana desa benar-benar melayani rakyat, bukan kekuasaan yang mapan. []