PETI Di Silaping Rabat kembali beroperasi bebas. Aparat diduga dikalahkan BOS tambang yang punya Dekingan Pusat. Hancur. Hancur Negeri ini !! Pak Kapolda Sumbar, tolonglah tegakkan Hukum itu.


"Ternyata hanya sandiwara. Dirazia sebentar hanyalah untuk menaikkan harga negosiasi agar setoran lebih tinggi. Warga pasbar telah di prank. Kapolri juga diduga diprank  bawahannya tentang PETI di Pasaman Barat ??"

*Mengupas PETI di Sungai Batang Batahan: Antara Kejahatan Lingkungan, Kemandekan Hukum, dan Ketidakpastian Ekonomi* 

Pasaman Barat, kawalbangsa.com ----
Pasaman Barat, 28 April 2025 —
Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di sepanjang aliran Sungai Batang Batahan kembali marak, tak lama setelah sempat terhenti lebih dari seminggu akibat razia aparat penegak hukum ( baca berita terkait: 
https://www.kawalbangsa.com/2025/04/penambangan-emas-ilegal-di-batang.html) 

Fenomena ini memperlihatkan betapa rumitnya persoalan PETI, yang tidak hanya menyangkut persoalan hukum, tetapi juga persoalan ekonomi rakyat dan kerusakan lingkungan hidup yang terus menganga.

Kembalinya suara alat berat di sungai, deru mesin pendulang emas, serta aktivitas para bandar dan penambang ilegal, menunjukkan bahwa razia yang dilakukan tidak mampu menjadi solusi permanen. Hal ini memperkuat dugaan masyarakat akan adanya perlindungan dari oknum tertentu, serta lemahnya implementasi kebijakan di tingkat daerah.

---
 *Dimensi Hukum: Pelanggaran Pidana Lingkungan dan Sumber Daya Alam* 

Penambangan tanpa izin secara jelas melanggar sejumlah regulasi hukum di Indonesia:

Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Pasal 158 menyatakan:

> "Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, IPR, SIPB) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah)."


Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (1) huruf a dan b, menyebutkan larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, termasuk penambangan ilegal yang mencemari air, tanah, dan udara.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur mengenai perusakan barang milik umum dan alam dalam Pasal 406 dan Pasal 407.

Berdasarkan regulasi tersebut, aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya menyita alat berat dan menghentikan aktivitas sementara, tetapi juga menindak para pelaku, termasuk aktor intelektual di balik aktivitas PETI. Sayangnya, dalam kasus Sungai Batang Batahan, belum ada tindakan nyata yang masuk ke proses hukum berkelanjutan. Ini menunjukkan lemahnya _law enforcement_ (penegakan hukum) yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan PETI.

---
 *Dimensi Ekonomi: Ketergantungan dan Kerusakan yang Tak Terbayar* 

Banyak masyarakat sekitar sungai yang terlibat dalam PETI bukan karena semata-mata pilihan, tetapi karena keterpaksaan ekonomi. Daerah seperti Koto Balingka dan Ranah Batahan merupakan kawasan yang secara infrastruktur dan peluang kerja masih terbatas.

Di sisi lain, PETI yang dikuasai para bandar besar justru menimbulkan ketidakadilan ekonomi:

Tidak adanya pembayaran pajak atau royalti, menyebabkan daerah tidak mendapatkan revenue sharing dari hasil tambang.

Kerusakan sumber daya akan mengurangi nilai ekonomi jangka panjang dari lahan, air, dan potensi pariwisata alam.

Timbal balik ekonomi kepada warga umumnya berbentuk "uang pelicin" atau sistem bagi hasil tradisional yang timpang, tanpa jaminan kesehatan, keselamatan kerja, dan tanpa pengelolaan dampak lingkungan.

Padahal, berdasarkan Pasal 128 UU Minerba, kegiatan pertambangan yang resmi wajib memberikan kontribusi kepada pembangunan daerah, memperhatikan aspek lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dengan demikian, PETI bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan juga "kriminalisasi ekonomi" terhadap daerah itu sendiri.

Apalagi, kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang rendah juga turut andil dalam menyemai aktivitas penambangan tanpa izin ini. 

---
 *Dimensi Lingkungan: Luka Abadi Sungai dan Pelenyapan Ekosistem* 

PETI di Sungai Batang Batahan berisiko menimbulkan dampak lingkungan serius yang sulit dipulihkan karena, sedimentasi dan perubahan alur sungai akibat penggunaan alat berat, kedua terjadinya pencemaran air akibat penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri untuk mendulang emas, ketiga kita kehilangan keanekaragaman hayati di kawasan riparian (sekitar sungai), termasuk ikan endemik dan vegetasi pinggiran sungai.

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, aktivitas seperti ini masuk kategori pencemaran dan perusakan ekosistem yang dapat dikenakan sanksi administrasi, pidana, dan perdata.

Dalam jangka panjang, kerusakan ini akan berdampak langsung pada kehidupan warga lokal yang menggantungkan hidup pada sumber air bersih, pertanian, dan perikanan sungai.

---

 *Mengapa Penertiban Selalu Gagal ?*

Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga, kegagalan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan masalah PETI bisa dirangkum dalam beberapa faktor:

1. Adanya "uang payung" atau suap yang membuat operasi PETI dilindungi pihak tertentu.
2. Kurangnya opsi ekonomi alternatif bagi warga lokal.
3. Lemahnya keberlanjutan razia, yang hanya bersifat insidental, tidak konsisten, dan tidak diikuti dengan proses hukum.
4. Minimnya keberanian politik dari pemerintah daerah untuk berhadapan dengan aktor-aktor kuat di balik PETI.


Seperti yang diungkapkan Tarmizi, warga setempat sebagaimana diberitakan sebelumnya oleh media ini, "Sepertinya hanya ganti supir saja Pemda ini." Kritik ini menunjukkan betapa masyarakat merasa perubahan tampuk pemerintahan belum nampak membawa perubahan substantif terhadap praktik ilegal yang sudah berakar.

---

 *Kini, Kesimpulannya Antara Membiarkan atau Menyelamatkan Masa Depan?* 

PETI di Sungai Batang Batahan adalah cerminan kegagalan sistemik dalam mengelola sumber daya alam Indonesia dengan berkelanjutan dan adil. Jika tidak segera ditangani dengan:

1. Penegakan hukum tegas dan transparan,
2. Penyediaan solusi ekonomi alternatif yang layak,
3. Pemulihan lingkungan yang serius,
4. serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan,
5. maka kerusakan lingkungan, ketidakadilan ekonomi, dan runtuhnya kepercayaan terhadap negara akan menjadi warisan yang sulit diperbaiki.

Masyarakat kini menunggu: apakah pemerintah daerah dan aparat hukum akan memilih menjadi pelindung kekayaan sumber daya bumi dan rakyatnya — atau tetap menjadi penonton sambil tetap pura-pura bingung atas kehancuran yang terus berjalan masif, perlahan dan terstruktur. []

Penulis: Gading Martin (Pengamat Sosial, Politik, Hukum dan Ekonomi)

Post a Comment

0 Comments