AL-QUR'AN BERTEMU MASLOW?: MEMBACA AL-QURAISY AYAT 3 DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI MODERN
Oleh : Andri Saputra Lubis, S.Psi., M.Psi
____________________
Artikel, kawalbangsa.com ----
Surat Al-Quraisy, meskipun hanya terdiri dari beberapa ayat, namun menyimpan makna yang dalam dan relevansi yang tak lekang oleh-oleh waktu. Salah satu ayat yang menarik untuk ditelaah adalah ayat ketiga, yang berbunyi "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).”
Pada ayat ini, Allah memerintahkan umat manusia untuk beribadah kepada-Nya, dengan argumen bahwa "Dia-lah yang mengatasi rasa lapar dan memberikan rasa aman". Menariknya, perintah ibadah datang terlebih dahulu, baru kemudian dijelaskan alasan mengapa manusia harus menghadap kepada-Nya.
Secara teoritis, perintah ini tampaknya melampaui pemikiran konvensional dalam psikologi, khususnya terkait dengan teori kebutuhan dasar manusia. Mengingat pentingnya konteks psikologis dalam pemenuhan kebutuhan manusia, sangat menarik untuk melihat bagaimana struktur ayat ini dapat sejalan dengan pandangan dalam psikologi modern, seperti yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh penting dalam bidang ini.
Di dalam teori Hierarki kebutuhan Abraham Maslow, pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti makan dan rasa aman, dianggap sebagai prioritas utama yang harus tercapai terlebih dahulu sebelum individu dapat berfokus pada hal-hal yang lebih tinggi, seperti kebutuhan cinta, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Menurut Maslow, spiritualitas dan pencapaian tertinggi manusia hanya bisa terjadi setelah kebutuhan dasar ini dipenuhi.
Namun, dalam Surat Al-Quraisy, kita justru melihat urutan yang berbeda. Perintah untuk beribadah datang terlebih dahulu, dan baru setelah itu Allah menjelaskan bahwa Dia-lah yang memberikan makanan dan keamanan. Struktur ini menyiratkan bahwa ibadah dapat menjadi titik awal bagi pencapaian kesejahteraan lainnya, bahkan sebelum kebutuhan dasar manusia sepenuhnya tercapai. Secara tidak langsung Allah mengatakan: "Sembah saja Aku, urusan duniamu biarlah menjadi urusan-Ku".
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Viktor Frankl, seorang psikolog eksistensialis yang menemukan bahwa pencarian makna hidup (will to meaning) bukan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah inti dari keberadaan manusia. Dalam bukunya Man's Search for Meaning, Frankl menunjukkan bahwa manusia bisa menemukan tujuan hidupnya, bahkan dalam situasi yang penuh penderitaan dan kekurangan. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas, dalam konteks Al-Quraisy, bisa menjadi landasan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar, bukan sebaliknya.
Pandangan yang lebih modern juga mendukung konsep ini. Martin Seligman, yang dikenal sebagai pelopor psikologi positif, memperkenalkan gagasan bahwa kesejahteraan manusia tidak hanya bergantung pada pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga pada pencarian makna hidup. Seligman berpendapat bahwa kebahagiaan sejati datang dari mengenali dan mengembangkan kekuatan batin kita, serta menemukan tujuan yang lebih tinggi dalam hidup, sesuatu yang sangat resonan dengan ajakan untuk menyembah Tuhan yang terkandung dalam Surat Al-Quraisy. Seligman mengingatkan kita bahwa kesejahteraan itu lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional.
Daniel Goleman, yang mengembangkan konsep kecerdasan emosional, menambahkan bahwa pengelolaan emosi dan hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain juga merupakan faktor penting dalam kesejahteraan psikologis. Menurut Goleman, seseorang yang mampu memahami dan mengelola emosinya dengan baik akan lebih siap untuk mencapai hidup yang penuh makna. Konsep ini mengarah pada pemahaman bahwa spiritualitas dapat memainkan peran penting dalam membantu seseorang meraih kesejahteraan emosional dan mental. Dalam konteks ini, perintah untuk beribadah kepada Tuhan, seperti yang diajukan dalam Surat Al-Quraisy, dapat berfungsi sebagai penuntun untuk mengelola kehidupan emosional yang lebih sehat.
Selain itu, John Kabat Zinn, yang dikenal dengan pengembangan praktik mindfulness (kesadaran penuh), juga menawarkan wawasan yang relevan. Zinn berpendapat bahwa kesadaran penuh terhadap momen sekarang dapat membantu seseorang mencapai kesejahteraan fisik dan mental yang lebih baik. Dalam praktik mindfulness, banyak orang belajar untuk menyadari dan menghargai segala nikmat hidup mereka, tanpa terjebak dalam penilaian atau keinginan untuk mengubah situasi. Prinsip ini secara alami berhubungan dengan spiritualitas dalam Surat Al-Quraisy, yang mengajarkan umat manusia untuk menghargai nikmat Tuhan melalui penghambaan yang tulus dan penuh kesadaran.
Surat Al-Quraisy menyuguhkan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar dan pencapaian spiritual. Dengan mengedepankan perintah ibadah terlebih dahulu, ayat ini menunjukkan bahwa spiritualitas dapat menjadi landasan utama dalam kehidupan manusia, bahkan sebelum kebutuhan dasar mereka terpenuhi.
Dengan menelaah Surat Al-Quraisy melalui lensa psikologi modern, kita semakin menyadari bahwa ibadah dan penghambaan kepada Tuhan bukan hanya bentuk kewajiban agama, tetapi juga sarana untuk mencapai kesejahteraan yang lebih holistik, baik secara fisik, emosional, maupun spiritual.
Ajakan untuk menyembah Tuhan dalam ayat ini memberikan pencerahan bahwa pencarian makna hidup dan hubungan spiritual dengan Tuhan adalah kunci utama menuju kehidupan yang lebih bermakna dan utuh. []
Editor : ZH ajay
_Penulis adalah Mahasiswa Doktoral di UIN Sumatera Utara, Dosen di STAI Raudhatul Akmal, dan Penjamin Mutu di Ponpes Darul Adib Medan_
0 Comments