Orang Tua Berhak Memilih Sekolah, Tapi Jangan Terjebak Standar yang Keliru
Oleh : Jumadia Selian, ( Kepsek SMA IT ABI Center dan Mahasiswa S3 Prog. Studi Islam UM Sumatera Barat )
Opini, kawalbangsa.com ----Seorang ayah dan ibu datang mengantarkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan pesantren. Dengan wajah penuh harap, mereka memandangi bangunan sederhana yang akan menjadi tempat belajar putra-putrinya.
“Belajarlah dengan sungguh-sungguh, Nak. Kami ingin yang terbaik untukmu,” ucap sang ayah lirih. Namun, di balik senyuman itu, tersimpan kegelisahan yang amat dalam: Apakah pesantren ini benar-benar tempat terbaik?
Apakah para guru di sini mampu membimbing anaknya dengan baik? Pikiran ini menghantui banyak orang tua ketika memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka.
Ketika berbicara tentang pesantren, sering kali muncul pemahaman bahwa pesantren adalah tempat penitipan anak bagi orang tua yang sibuk dan tidak memiliki cukup waktu untuk mengawasi perkembangan putra-putrinya.
Padahal, jika direnungkan lebih dalam, pesantren merupakan tempat pendidikan yang menanamkan ilmu-ilmu syar'i sekaligus membentuk karakter dan kemandirian santri. Di pesantren, anak-anak tidak hanya diajarkan membaca kitab atau menghafal Al-Qur'an, tetapi juga dididik agar mampu hidup mandiri setelah berpisah dari orang tua mereka.
Saya sering mengibaratkan pesantren seperti rumah sakit. Orang yang sakit datang untuk berobat, berharap sembuh dan kembali sehat.
Ada yang langsung mendapatkan kesembuhan, tetapi ada pula yang harus mencari pengobatan di tempat lain karena belum menemukan metode yang sesuai. Namun, kesembuhan bukan hanya ditentukan oleh keahlian dokter semata. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi, termasuk ketekunan pasien dalam menjalani pengobatan.
Begitu pula dengan pesantren. Jika anak yang dititipkan tidak sesuai dengan harapan orang tua, apakah itu sepenuhnya kesalahan gurunya? Apakah sistem pendidikannya yang kurang baik? Ataukah ada faktor lain yang belum diperhitungkan?
Ketika memilih lembaga pendidikan, baik pesantren maupun sekolah umum, banyak orang tua mengalami keraguan dan kecemasan yang berlebihan.
Tidak sedikit dari mereka yang melakukan pemeriksaan mendetail terhadap tenaga pendidik dan sistem pendidikan sebelum memutuskan untuk memasukkan anaknya ke suatu lembaga.
Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan ekspektasi, mereka cenderung enggan untuk menitipkan anaknya.
Terkait hal ini, saya teringat pesan dari guru saya, almarhum Tgk. H. Shabirinsyah, pendiri Pondok Pesantren Raudhatusshalihin Aceh Tenggara. Beliau pernah berkata: “Gat ni Ka’bah e kas nin tading, tapi ndak untuk belajar, pasti malet njadi kai pe kenin, te mangan medem pelin ulah.” Artinya kurang lebih: “Sekalipun kalian tinggal di Ka’bah, jika hanya sekadar makan dan minum tanpa belajar, maka tetap akan sia-sia.” Ungkapan ini menegaskan bahwa tempat yang baik saja tidak cukup, tetapi juga diperlukan kesungguhan dalam menuntut ilmu agar pendidikan benar-benar bermanfaat.
*Kualitas Guru Tidak Selalu Menjamin Kesuksesan Murid*
Melakukan penelitian sebelum memasukkan anak ke pesantren atau sekolah merupakan langkah yang baik. Namun, menempatkan kompetensi guru sebagai satu-satunya faktor utama keberhasilan pendidikan adalah pandangan yang perlu ditinjau ulang. Seolah-olah kesuksesan anak semata-mata ditentukan oleh kualitas gurunya.
Pada kenyataannya, banyak sekolah dengan guru berkualitas yang tetap gagal mengembangkan potensi murid karena kurangnya motivasi internal atau lingkungan yang tidak mendukung. Sebaliknya, ada murid yang berhasil meskipun diajar oleh guru yang biasa saja karena mereka memiliki semangat belajar yang tinggi serta dukungan keluarga yang kuat.
Mua’allim Muhammad Hamdi, atau dikenal sebagai Abi Hamdi, Beliau merupakan salah satu tokoh yang telah merintis beberapa pesantren di Sumatera Barat dan saat ini beliau memimpin Pondok Pesantren ABI Center di Bukareh, Tilatang Kamang.
Perjalanan beliau dalam mencari ilmu menjadi bukti bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya bergantung pada kualitas guru, tetapi juga pada kesungguhan pribadi dalam menuntut ilmu. Beliau menempuh pendidikan dari berbagai guru, menghadiri setiap majelis ilmu yang dianggap penting, bahkan berdiskusi di perjalanan bersama gurunya itu sudah menjadi kebiasaan untuk memperdalam pemahaman.
Kisah ini menunjukkan bahwa keseriusan dalam menuntut ilmu berasal dari diri sendiri. Keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada kualitas guru atau fasilitas yang tersedia, tetapi lebih pada niat dan usaha individu dalam mencari ilmu.
Menuntut ilmu adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan kesadaran diri. Jika seseorang ingin terlepas dari kebodohan, maka ia harus peduli terhadap dirinya sendiri dan ilmu yang dipelajari.
*Faktor Lain yang Tak Kalah Penting*
Selain kualitas guru, beberapa faktor lain turut menentukan keberhasilan pendidikan seorang anak:
1.Sistem Pendidikan – Kurikulum yang diterapkan harus selaras dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada murid. Pesantren atau sekolah dengan guru berkualitas tinggi tetapi memiliki sistem pendidikan yang kurang baik dapat menghambat perkembangan mental dan karakter anak.
2.Lingkungan Sosial – Lingkungan tempat anak belajar sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya. Pesantren yang menanamkan budaya Islami, disiplin, serta akhlak yang baik akan memberikan manfaat lebih besar dibandingkan hanya berfokus pada kualitas pengajar.
3.Metode Pembelajaran – Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mampu menyediakan metode pembelajaran yang sesuai agar ilmu dapat diserap dengan baik.
*Guru yang Tidak Diakui Secara Formal Belum Tentu Tidak Bermanfaat*
Sering kali, guru yang sederhana namun memiliki ketulusan dan keberkahan dalam mengajar lebih berpengaruh dibandingkan guru dengan banyak sertifikasi akademik.
Dalam sejarah Islam, banyak ulama besar yang menimba ilmu dari guru yang mungkin tidak terkenal atau tidak memiliki gelar akademik tinggi, tetapi tetap berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah.
Oleh karena itu, memilih pesantren atau sekolah memang harus melalui pertimbangan yang matang, tetapi tidak boleh hanya terfokus pada aspek kualitas guru. Faktor lain seperti lingkungan, kurikulum, serta kesesuaian dengan visi pendidikan keluarga juga harus diperhitungkan secara menyeluruh.
*Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak*
Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru atau lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan peran utama orang tua dalam membentuk karakter dan kecerdasan anak. Jika orang tua menjalin hubungan baik dengan sekolah atau pesantren serta aktif dalam perkembangan anak, maka anak akan lebih mudah berkembang, meskipun terdapat kekurangan dalam hal kualitas guru.
Selain itu, standar ekspektasi terhadap lembaga pendidikan harus realistis. Dalam satu institusi, mungkin ada guru-guru yang luar biasa, tetapi ada pula yang biasa saja. Jika standar terlalu tinggi, sulit menemukan pesantren atau sekolah yang benar-benar memenuhi seluruh kriteria secara sempurna. Bisa jadi ada guru yang sangat berilmu tetapi kurang pandai mengajar, atau sebaliknya, ada guru yang kurang berilmu tetapi sangat ikhlas dalam mendidik dan membimbing anak-anak.
Kesimpulan
Memilih lembaga pendidikan bagi anak membutuhkan pertimbangan yang matang, tetapi fokus tidak boleh hanya tertuju pada kualitas individu guru.
Yang lebih penting adalah menilai sistem pendidikan secara keseluruhan, lingkungan yang kondusif, serta peran orang tua dalam mendampingi anak. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara guru, sekolah, dan keluarga. Oleh karena itu, mari kita tidak hanya melihat pendidikan sebagai tempat penitipan anak, tetapi sebagai sarana untuk membentuk generasi yang berilmu, berakhlak dan beradab. []
Diedit oleh: Zawil Huda
0 Comments